Hai para blogger dan pecinta dunia maya, posting saya kali
ini akan mendeskripsikan salah seorang yang sangat saya banggakan dan tiada
duanya dalam hidup ini. Pasti kalian sudah tau siapa itu? Dan saya yakin kalian
juga sepakat dengan jawaban saya ini yaitu “orangtua”, ya betul merekalah yang
seharusnya kita banggakan, karena dengan adanya mereka tentunya kita bisa lahir
ke dunia. Dan yang paling penting adalah dengan ridho orangtua kita mendapatkan
ridhoNYA (bukan begitu???), kalau kita hidup bergelimang harta tetapi orang tua
tidak ridho dan tidak bangga lalu buat apa kita punya segalanya. Jika kita
menduduki jabatan tinggi tapi orangtua tidak senang lalu untuk apa gunanya?
Jika kita bertitel tinggi tetapi dianggap tak peduli orangtua maka bagaimana
kita mendapat ridhoNYA? Jika kita beribadah mati-matian sebanyak-banyaknya
tetapi tidak mendapat ridho orangtua, apakah kita yakin bahwa amalan kita
diterima? Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk berbakti kepada
orangtua, apapun kondisinya sehingga segala yang kita lakukan sebagai seorang anak
tidaklah sia-sia. Amiin Ya Robbal Alamin. Berkenaan dengan pentingnya orangtua
itu saya akan mencoba menuangkannya dalam tulisan ini, tetapi kali ini saya
tidak memilih IBU sebagai bahasan utama, bukan karena beliau tidak
membanggakan, juga bukan karena beliau tidak kami cintai dan tidak kami sayangi
tetapi seorang IBU sudah pasti harus menjadi idola bagi anak-anaknya. Selain
itu sudah banyak literatur, ungkapan, petuah yang menyatakan bahwa seorang IBU
lebih diutamakan ketimbang ayahnya. Bahkan sampai dinobatkan dengan adanya peringatan
hari spesial untuk IBU setiap 22 Desember. Lalu bagaimana dengan Ayah? Adakah
yang mau membanggakannya? Mungkin sayalah salah satu orang yang masih diberikan
kesempatan untuk hidup, menuliskan cerita tentangnya dan membanggakannya
meskipun hanya dapat diungkapkan melalui tulisan ini.
Saya yakin ketika menulis tentang seorang “ayah”, tidak
banyak orang yang tertarik untuk membacanya. Tidak banyak yang mau merespon,
biasanya hanya terkesan klasik, lebay (berlebihan), tidak greget dan tidak
estetik untuk diceritakan. Namun saya akan tetap menuliskan cerita berdasarkan
yang saya alami. Dan untuk menjaga kerahasiaan serta privasi beliau saya akan
tetap menyamarkan nama-nama, atau sebutan yang langsung berhubungan erat
dengannya. Dengan harapan juga bahwa yang akan kalian ambil dari tulisan ini adalah
hal-hal positif berkaitan dengan apa yang ditulis bukan tentang siapa yang
ditulis. Dan pada akhirnya akan ada sebuah penilaian yang bersifat objektif dan
bukan subjektif.
Sebut saja namanya H, saya memangil ayah saya dengan sebutan
Bapak H, tidak banyak cerita yang bisa didengungkan kembali ketika masa kecil
beliau, tetapi saya pun sering mendengar beliau mengisahkan dirinya sendiri semasa
kecil. Beliau merupakan anak terakhir dari 7 saudara yang berjenis kelamin
lelaki semuanya. Ibunya (nenek saya) sudah meninggal beberapa tahun lalu pada
hari-hari setelah lebaran. Sedangkan ayahnya (kakek saya) sudah wafat terlebih
dahulu ketika ayah saya menginjak bangku sekolah. Terlahir di akhir keturunan
tentunya membuat beliau menjadi anak yang paling dimanjakan, tetapi karena
memiliki saudara kandung dengan jenis kelamin yang sama semua tentunya akan
merepotkan dan lebih identik dengan aneka perebutan, perkelahian ala anak-anak
dan semacamnya. Beliau juga sering mengaku memiliki tubuh yang tidak tinggi dan
juga tidak rupawan, tidak seperti anak jaman sekarang. Terkadang kekurangan
tersebut masih sering beliau dengungkan sendiri sampai sekarang, mungkin dalam
rangka untuk introspeksi dirinya sendiri. Menjadi anak terakhir tentunya akan
mendapat “serangan” dari kakak-kakaknya dan mungkin itulah yang membuat
mentalnya menjadi kuat, tahan banting dan tidak lembek. Meskipun dari keluarga
apa adanya dan sangat sederhana di pelosok jawa tengah, beliau bertekad
mengharumkan nama keluarganya agar tidak dipandang remeh oleh dunia. Beliau pun
berhasil membuktikan dengan masuk sekolah (waktu itu masih sangat jarang)
bahkan bisa memasuki perguruan tinggi milik negara dengan bidang studi
akuntansi yang notabene gratis dan memiliki saingan dari penjuru nusantara. Dan
saya yakin untuk mencapai hal itu dibutuhkan tekad yang kuat, pikiran yang
hebat, tindakan yang tidak lembek, mental baja dan segala hal yang dibutuhkan
untuk mengarungi besarnya Jakarta apalagi mengingat beliau adalah hanya seorang
anak yang berasal dari pelosok daerah Jawa. Secara garis besar kisah hidupnya
hampir mirip seperti kisah ikal dalam lascar pelangi ataupun mirip dalam
riwayat cerita anak singkong karya salah satu menteri di negeri ini yang sukses
from zero to hero. Mungkin saat itu beliau akan berkata terhadap keluarganya “ Nih
saya bisa buktikan bahwa saya bisa tembus ke Jakarta”.Congratulations.
Cita-citanya mungkin tidak banyak dan tidak muluk-muluk tetapi
obsesinya selalu tercapai. Mungkin itulah hasil tempaan keluarganya selama
bertahun-tahun, terbukti saat ini beliau
menduduki jajaran direksi di sebuah anak perusahaan yang berafiliasi erat
dengan perusahaan milik Negara. Tentunya bukan perkara mudah untuk menapaki
kedudukan itu. Awalnya setelah lulus kuliah dari pergurun tinggi milik Negara, beliau
bekerja beberapa tahun di Sumatera sebagai bentuk ikatan dinas oleh perguruan
tinggi tersebut, beliaupun sempat memutuskan resign dan membayar penalty atas
keputusannnya tersebut. Lalu malang melintang di perusahaan besar lainnya
hingga terakhir posisi direksi inilah yang beliau capai. Tentunya posisi ini
bukanlah main-main apalagi yang digelutinya adalah soal kelistrikan dan batu
bara sebagai bisnisnya. Hajat hidup orang banayak lah yang ditanganinya. Disamping
itu beliau juga memiliki yayasan bersama dengan beberapa orang kompeten di
bidang lembaga pendidikan islam terpadu. Tak tanggung-tanggung beliau duduk bersama
dengan orang-orang kelas atas, CEO perusahaan, politisi, anggota dewan, mantan
kepala daerah, hingga tokoh agama. Beliau juga memimpin sebuah lembaga
kemakmuran masjid yang rutin mengisi ceramah, rutin aktif dalam pengajian
pekanan, rutin ibadah wajib, ibadah besar haji lebih dari 1x termasuk memberangkatan
orang tuanya haji, ibadah Sunnah harian hingga amalan Sunnah kecil lainnya.
Dari semua sisi tentunya sangat membanggakan, karir atau pekerjaan sudah pasti
masuk kategori TOP manajemen yang tentunya berimbas baik bagi keuangan. Dari
segi pendidikan juga tentunya memiliki kualifikasi tersendiri untuk memasuki
jajaran direksi, selain faktor duniawi yang baik di berbagai sisi sisi ukhrowi
pun lengkap, ibadah komplit, agama baik dan banyak hal lainnya. Dan kalau
kalian googling nama beliau maka hasilnya cukup memuaskan untuk kategori seorang
ayah, meskipun tidak setenar bapak presiden ataupun menteri dan jajaran anggota
dewan, tetapi sudah membuktikan lebih dari cukup sebagai seorang ayah. Tak
heran mungkin relasi selevelnya akan silau melihat kejayaannya, hartanya,
kendaraannya, tempat tinggalnya ataupun koceknya. Secara individual beliau
sedang menapaki puncak tertinggi dalam hidupnya. Semuanya dicapai sendiri,
didapat sendiri dan berdampak bagi dirinya sendiri. Maka layak dong kalau saya
membanggakan ayah saya dari semua hal itu. Beliau saya anggap sebagai pribadi
mandiri yang perfect alias sempurna.
Lalu bagaimana dengan asmara hingga keluarga beliau? Bukankah
dibalik ayah yang sukses ada keluarga yang mendukungnya? Bukankah ada seorang
ayah berarti juga memiliki istri yang selalu mendampinginya? bukankah seseorang
disebut ayah jika memiliki anak dalam keluarganya? Ya sayalah salah satu bagian
dari hal tersebut, saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara keluarga
kecil beliau dan saya merupakan pemuda yang hampir berumur kepala 3 yang sayangnya
belum bisa berbuat banyak dan masih dianggap remeh serta jauh dari harapan
orangtua. Mungkin saya adalah satu-satunya anak yang tidak bisa memanfaatkan
baik potensi yang dimiliki ayah dan keluarga. Singkatnya saya terlahir dari rahim
ibu saya yang pada waktu itu ayah saya masih bekerja di luar pulau jawa ber
tugas dinas sehingga tidak memungkinkan untuk menengok kelahiran saya. Saya pun
diasuh oleh ibu kandung saya dan orangtua beliau (kakek-nenek dari ibu) di
pelosok daerah Jawa Tengah. Tidak banyak yang saya tau dari masa kecil saya dan
saya juga tidak pernah banyak mendengar dari kisah asmara mereka berdua. Yang
saya ingat saya hidup dalam keadaan cukup tetapi ada sesuatu yang selalu
terbesit dan teringat yaitu ketika masa kecil saya pernah sesekali diisi dengan
adegan dimarahi, yang lebih sering saya dengar ketika kecil adalah perihal ayah
saya yang kadang melotot, bernada tinggi, melempar gelas, sepatu bola yang
becek bahkan membentak ketika saya susah bangun pagi, kadang membuat saya menangis
di kamar mandi dan terlambat sekolah. Meskipun kejadiannya jarang tetapi pasti
akan membekas dan menciptakan kesan karena tidak seperti image ayah di dunianya
yang berbalut dengan kesuksesan. Bukan saya sedih karena diomeli, tapi saya
sedih karena hidupnya di luar rumah tidak sejalan lurus dengan di dalam rumah. Selain
itu, yang saya tau bahwa saya adalah anak pertama yang prestasinya jauh dari
kata membanggakan. Prestasi trophi dan piagam “bintang kecil” ketika TK tak
bisa membuat orangtua saya bangga, bahkan rangking 3 besar di SD pun tidak
berarti apa-apa bagi mereka. SD saya yang berjarak lebih dari 10 KM dari rumah harus
saya tempuh +/- 1 jam dengan jemputan, alhasil saya harus bangun lebih pagi
dari anak lainnya kalau tidak ingin terlambat. Dan di SD itu saya selalu
diajarkan berbuat baik, berbakti kepada orangtua dan mengharap ridhoNYA melalui
bakti kita terhadap orangtua. Saya pikir hal tersebut adalah prinsip yang
bagus, dan kalaupun kita tidak bisa membuat mereka bangga maka janganlah buat
mereka kecewa, jika tidak bisa memberikan hal yang baik pada orangtua maka
janganlah menunjukkan keburukan pada mereka. Dan terkadang itu yang membuat
saya sedikit pasif, pendiam, introvert karena tidak mau mengecewakan mereka.
Jika saya tidak punya uang untuk membelikan mereka kado ulang tahun, saya lebih
baik hanya mengucapkan doa, berdiam dan tidak banyak tingkah dibandingkan saya
harus pinjam uang kemana-mana, membuat adonan kue, ataupun berjibaku untuk
membuat surprise. Saya lebih takut dimarahi orangtua karena pinjam uang hanya
untuk beli kado untuk mereka. Saya lebih takut dimarahi orangtua karena membuat
dapur kotor demi berkreasi membuat kue istimewa untuk mereka, saya lebih takut
dimarahi karena berantakan membuat kreasi surprise yang saya tidak tahu apakah
mereka bangga dengan hasil karya saya. Saya lebih memilih kurus karena takut
minta uang jajan, dibandingkan harus gemuk karena banyak membeli makanan sehat.
Saya lebih memilih bodoh karena tidak punya uang untuk beli buku pelajaran
dibandingkan harus beli buku dengan membebani keuangan orangtua agar jadi
ranking 1. Dan saya lebih memilih diam ketika dimarahi daripada berkata sepatah
kata dan dianggap membantah kalimat orangtua. Iya semua itu karena demi wujud
bakti kepada orangtua, tetapi nyatanya apapun yang saya lakukan belum bisa
membuat mereka bangga. Hingga akhirnya beranjak SMP saya masuk ke pesantren
(boarding school) di daerah Banten dan lagi-lagi belum bisa membanggakan karena
hanya mendapat ranking 3 besar bukan rangking yang utama. Begitu juga SMA saya
masuk lagi ke “penjara suci” yang lagi-lagi saya hanya mampu menjawab tantangan
dengan ranking 3 besar lagi, hafalan quran hanya beberapa juz dan juga tidak diiringi
dengan keberhasilan masuk ke perguruan tinggi negeri favorit melalui seleksi
nasional. Ditambah lagi saya mengalami insiden yang membuat saya patah tulang
dan merasa jadi anak paling menyusahkan dan tidak berguna di mata mereka.
Apalah yang bisa dibanggakan dari saya dan saya pikir wajarlah kalau beliau
berlaku keras, membentak, dan banyak mensehati saya. Hal itupun masih terjadi
sampai sekarang, ditengah sosoknya yang sangat sempurna di berbagai bidang
dunia dan akhirat tetapi beliau memiliki karakter yang agak berlawanan dalam
keluarga. Berbeda dengan pepatah yang mengungkapkan “padi semakin berisi semakin merunduk” belum lagi ditambah dengan
beban saya sebagai anak pertama yang jauh dari harapan. Mungkin sebagian orang
memang bilang bahwa karakter itu tidak bisa dirubah, tetapi saya ingin memiliki
sebuah keluarga yang harmonis, tentram, indah ditengah segala kelebihan yang
dimiliki saat ini. Lain halnya kalau kami hidup dalam serba kekurangan,
kehimpitan sehingga harus mencaci-maki sana sini, mengumpat tentang tidak
adilnya hidup, menghalalkan segala cara untuk mengisi perut, bahkan
mengkombinasikan otak dan otot demi ambisi tertentu ataupun dengan sifat arogansi lainnya. Dan
disitu saya merasa dada mulai sesak dan mata berkaca-kaca bahwa kilaunya
pribadi yang sempurna di dunia beliau tidak sebanding dengan ketika menjadi
sosok ayah di dalam keluarga.
Malam inipun, otak saya memutarkan kembali memori masa kecil
saya. Hari ini pula sebetulnya bertepatan dengan 40 hari kepulangan kami dari
tanah suci dalam rangka ibadah umroh. Semenjak kepulangan umroh saya teringat
seorang kakek 80 tahun yang sering dimarahi ayah saya karena terlalu banyak
ribet dalam ibadah umroh. Tetapi ayah saya tak mau menyebutnya dengan kata
“memarahi” dan lebih memilih kata “menasehati”. Hanya saja saya tak bisa
membedakan kata “menasehati” apabila disertai dengan nada yang tinggi, mata
melotot, tangan terangkat, tanpa memberikan kesempatan lawan bicara untuk
memberikan penjelasan, diakhiri dengan intonasi yang menekan lalu berpaling
pergi seolah tidak mau melihat orang yang dinasehatinya lagi, serta dilanjutkan
dengan ocehan panjang sambil berlalu. Semenjak itu kadang saya teringat wajah
kakek itu, termasuk sore ini. Sore hari, seperti biasanya sebelum maghrib tiba,
ayah saya sudah sampai dirumah selepas seharian bekerja kelelahan dikantor. Kebetulan
hari ini hari kamis dan beliau sedang shaum Sunnah sambil menunggu waktunya
berbuka puasa. Setelah membuka pintu rumah lalu saya yang ditemui selanjutnya.
Sudah hampir genap satu tahun juga saya tidak ada aktivitas utama, saya hanya
sibuk di rumah. Pekerjaan yang dulu saya geluti hampir 5 tahun harus saya
akhiri maret tahun lalu untuk menebus keterlambatan kuliah. Alhasil semenjak
resign di maret 2014 saya fokus untuk penyelesaian mata kuliah dan skripsi
hingga akhirnya saya selesai studi S1 di salah satu perguruan tinggi swasta
pada desember 2014. Sebelum lulus S1 ini saya adalah mahasiswa lulusan D3. Dan
semenjak kelulusan S1 ini saya belum berupaya mencari lowongan pekerjaan
kembali karena banyak hal terutama yang terkait dengan cita-cita, impian
orangtua dan ridho mereka yang masih besar mengganjal apalagi kalau sudah soal
biaya. Walhasil saya pun hanya menganggur dirumah dan ayah saya pun pastinya
gerah melihat saya hanya berdiam dirumah, apalagi sampai hitungan bulan. Akan tetapi
beberapa waktu lalu kami sekeluarga sepakat untuk bulatkan tekad bahwa saya
akan terlebih dahulu melanjutkan S2 di negeri seberang dan saya sedang
mengupayakan segala bentuk persyaratannnya selama beberapa bulan ke depan ini
paling tidak hingga Agustus tahun 2015 sudah komplit. Mungkin orang lain akan
melihat apa yang saya kerjakan belakangan ini adalah hal bodoh ditengah segala kondisi
berkecukupan saya, di tengah segala kebutuhan hidup yang selalu terpenuhi.
Bodoh karena di usia yang hampir beranjak kepala 3 baru saja menuntaskan kuliah
sarjana, padahal dengan ayah saya yang hebat tentunya tak ada kesulitan faktor
biaya. Bodoh padahal saya pernah kuliah D3 di sekolah tinggi milik Negara tetapi
masih saja harus susah payah mencari lowongan kerja, yang pada kenyataannya juga
bahwa ayah saya pernah menjadi bagian dan malang-melintang di perusahaan
Negara. Juga saya disebut bodoh karena di usia yang sudah mulai menua belum
punya bekal apa-apa sehingga mana mungkin bisa berpikir mengenai jodoh dan naik
ke pelaminan, padahal disisi lain ayahnya memiliki relasi yang segudang.
Mungkin berbekal segala kebodohan itulah wajar bila ayah saya mulai tidak suka
dengan keseharian saya. Dan ketika bertemu saya sore ini dirumah pun seolah
hanya menggelengkan kepalanya. Sore ini sepulang dari kantor beliau membawa
beberapa lembar kain batik tulis untuk dirajut menjadi pakaian. Ibuku yang sedang
sibuk mencuci piring luput untuk menyambutnya, bahkan adikku yang perempuan
hanya berkomentar sedikit lalu pergi dan berkata bahwa bahan batiknya berwarna
dan bercorak gelap seperti selera untuk orangtua. Tapi siapa sangka apa yang
diucapkan adikku cukup membuat geger. Siapa sangka ternyata sore ini menjadi
sumber masalah yang tidak pernah saya duga. Selepas maghrib dan berbuka puasa
beliau uring-uringan soal harga-menghargai pemberian orang (batik yang
dibawanya). Ada raut kecewa karena batik tersebut tidak digubris oleh ibu saya
yang sedang cuci piring, apalagi ditambah komentar adik saya tadi yang
menyinggung hatinya dan dianggap menghina pemberian orang. Saya yang sedari tadi
sedang membaca tilawah malam jum’at dan memegang quranpun berhenti sejenak dan ikut
menambahkan komentar dan meluruskan bahwa hal tersebut bukan lah menghina dan
tak perlulah ditanggapi dengan marah-marah atau emosi. Dan siapa sangka
pernyataan saya membuatnya tambah tersinggung dan tidak terima kalau dianggap
sedang memarahi.
“Batik ini tolong dong dihargai, saya kan kerja bukan nyopet”
Jawabnya yang membuat saya tercengang,
“Lho bapak kenapa sih pulang
ko marah-marah, bawa batik malah marah-marah?”responku geram
“kamu ini juga anak pertama kalau dikasih tau ngeyel, anak
jaman sekarang kalau dikasih nasehat orang tua malah ngelawan, kamu ini udah
gede selalu ngebantah, kamu ini…, kamu itu …. bla….blaa….blaaa….” ucapnya lagi
lebih panjang tanpa putus dengan nada meninggi.
Pernyataan ayah saya itu membuat saya tertegun, mungkin bagi
orang terkesan sepele tapi bagi saya ini cukup dalam apalagi diucapkan oleh seorang
ayah yang jarang banyak bicara. Bukan seperti guru yang memarahi muridnya
karena tidak mengerjakan PR, lebih dari itu. Bukan seperti ustadz yang memarahi
santrinya karena sholat bercanda, lebih dari itu. Bukan seperti menteri dan
atasan yang sering memaki anak buahnya, lebih dari itu. Seperti ada dendam,
seperti ada rasa yang telah sangat lama dipendam dan membludak. Suasanapun
langsung berubah dan saya segera menutup alquran yang daritadi saya pegang dan tak
tahu harus bagaimana serta tak tahu apa maksudnya. Tangan beliau pun mengepal
sambil bersumpah serapah seolah mau menghantam wajah ini. Bahkan hingga terasa
anginnya akibat kibasan tangannya yang hampir menuju wajah ini. Seolah melempar
sesuatu ke arah wajah saya tapi saya tak tahu apa itu. Dan baru kali ini saya
merasakan lagi hal itu setelah sekian lama. Seketika menjadi hening. Beliau pun
berlalu, keluar kamar, keluar rumah, menuju masjid karena sesaat adzan isya
berkumandang. Tak disangka bahwa kalimat tadi yang saya ucapkan ternyata berefek
luar biasa. Saya yakin itulah momen emosional sekaligus paling jujur dalam
hidupnya, saya yakin itulah saat ucapan paling jujur dari seorang ayah yang berbicara
tentang saya sebagai anak yang tidak bisa dibanggakan, yang memalukan tidak
memiliki pekerjaan, yang membebani keluarga karena kuliah masih dibiayai. Bukan
kalimatnya yang saya takutkan, tetapi kesimpulan yang terpendam dalam hatinya
selama ini yang membuat saya tertegun, ternyata saya memang anak yang tidak ada
artinya, yang tidak bisa dibanggakan seperti kebanggaan atas hidup nya sendiri,
yang tidak bisa dielu-elukan layaknya perusahaan yang beliau pimpin, yang
mungkin saya tidak bisa masuk syurga karena ibadahnya tidak selevel dengan beliau.
Persis seperti kejadian masa kecil dulu. Gaya khasnya terulang lagi. Bagaimana tidak,
meskipun bicaranya hanya sesekali tetapi banyak makna didalamnya. Seperti kilat
di saing hari, cepat, membekas, tajam tak terlihat lagi penampakannya namun
efek yang ditimbulkannya sangat dahsyat, cukup untuk menyambar pohon, membakar
rumah ataupun membuat nyawa melayang. Disitu saya jadi jadi berpikir namun
makin bingung.
Mungkin saya tidak tahu rasanya bekerja bangun pagi
menghadapi macet dan harus datang paling awal sebagai contoh pemimpin di perusahaaan,
mungkin saya juga tidak tahu rasa lelah ayah saya seharian di ruangan ber AC
menahan dingin hanya untuk menandatangani sebuah kontrak bernilai miliaran
rupiah, sayapun tidak tahu rasanya memimpin rapat dengan anak buah yang masih
muda belia dan menghadapi pertanyaan kritis mereka, saya juga tidak tahu
rasanya ketika kolega beliau “menuntut” tanding golf, beradu tennis, bernyanyi karaoke
ataupun meminta makan siang dan hiburan lainnya. Saya juga tidak tahu rasanya
berjam-jam di mobil menanti macet di sore hari hanya untuk kembali kerumah,,,ya
saya tidak pernah tahu lelahnya menjadi bos dikantoran dengan segudang
pekerjaan dan kahawatir akan masa pensiunnya sebentar lagi. Disamping itu saya
juga tidak pernah tau lelahnya menjadi orangtua . Tetapi sesungguhnya anakmu juga
juga lelah di dunianya sendiri, tetapi tidak akan terasa lelah jika semua itu
dihargai dalam rangka mewujudkan bakti bagimu, anakmu juga sedang berjuang,
berjuang dengan dunianya, berjuang dengan usianya, sedang berjuang untuk
melebihi dirimu, berjuang dengan mendapatkan rangking sebisanya, berjuang
menunjukkan bahwa hasil tes bakat SMA nya memiliki score IQ tinggi dan mampu
untuk bersaing di fakultas kedokteran, arsitek, ekonomi, tapi anakmu bimbang
dan juga takut memilih jurusan itu karena memerlukan biaya tinggi dan tentunya
akan menguras hasil jerih payah ayahnya, anakmu pun juga harus berjuang
mengikuti seleksi olimpiade demi mendapatkan beasiswa, berjuang mendapatkan
bangku universitas negeri, berjuang mencari pekerjaan, berjuang mencari
pasangan, berjuang memiliki segudang bakat dan kemampuan, serta berjuang
menunjukkan jati dirinya agar bisa lebih baik dari ayahnya dan menjadi anak
yang diharapkan. Tapi nyatanya semua itu tidak membuatnya bangga. Beliau tidak
bangga dengan hasil tempaan pesantren 6 tahun di SMP dan SMA, karena hanya
bangun siang yang bisa kulakukan apalagi ditambah jarang sholat shubuh
berjamaah dengan ayahnya. Beliaupun juga tidak bangga dengan status D3 anaknya yang
pernah kuliah di sebuah sekolah tinggi Negara, karena baginya ratusan ribu mahasiswa
kuliah disana, lulus dan sudah bekerja, beliau lebih senang fokus dan geram
pada keterlambatan kelulusan S1 anaknya, di sisi lain sudah banyak mahasiswa
yang bertingkat S2 yang bekerja di perusahaannya. Beliau juga tidak bangga
ketika anaknya bekerja di lembaga keuangan swasta, tidak bangga ketika anaknya
berkantor hanya 10 menit dari ruamahnya, tidak bangga anaknya menjadi karyawan
tetap, tidak bangga anaknya diangkat jabatannya dan mengejar mimpi-mimpinya
sendiri. Lalu kalau ternyata semua itu tidak membuatnya bangga, untuk apa aku
mati-matian mengejar cita-cita? Untuk apa kalau semua itu ternyata tidak
diinginkan dan tidak membanggakannya? Mungkin banyak mimpi yang tidak bisa
diukir oleh anaknya. Dan mimpi sederhanapun belum bisa saya wujudkan. Saya hanya
mencoba melakukan apa yang saya bisa yaitu dengan berbakti kepadanya melalui
sikap nurut dan tidak banyak nuntut. Saya tidak pernah meminta untuk masuk
sekolah favorit karena saya tahu saya tidak mampu memiliki nilai besar, saya
juga tidak meminta untuk masuk fakultas favorit karena saya tahu biayanya
besar, saya juga tidak pernah menuntut untuk disertakan menjadi karyawan di
kantor yang beliau pimpin, saya juga tidak pernah sedikitpun meminta uang rokok
seperti pria kebanyakan saat ini dan saya sama sekali tidak pernah tahu apa
seperti apa rasanya rokok, sayapun tidak pernah sedikitpun tertarik ikut
kongkow, berpesta, dunia malam, modifikasi kendaraan dan kehidupan glamour
lainnya. Saya juga tidak pernah meminta motor gede untuk pamer seperti
anak-anak muda kebanyakan di malam minggu bahkan saya tidak pernah tau rasanya
malam minggu itu seperti anak muda katanya. Saya juga tidak menuntut harus
punya calon istri berambut panjang, rok mini dan keseksian lainnya, karena
agama saya mengajarkan untuk menutup aurat. Saya juga tidak menuntut pasangan
yang harus beradat jawa, harus berharta kaya raya, harus cantik rupawan,
ataupun wanita yang rajin puasa sunnah karena saya juga sadar saya jauh dari
kriteria itu semua. Saya juga tidak pernah menuntut mobil pribadi yang kecil,
bagus, lincah ataupun irit yang bisa dipamerkan ke teman-teman, saya juga tidak
pernah meminta uang untuk jajan, pakaian parlente, gaya rambut jabrik ke atas,
celana jeans ketat, harta berlimpah, barang elektronik, gadget plus aksesoris,
sebidang tanah, rumah tipe kecil ataupun harta warisan lainnya tidak pernah
saya pinta. Saya cuma berharap dengan kuliah saya yang sederhana ini saya bisa
bekerja lalu membina keluarga kecil yang bahagia dan membuat orangtua bangga. Tapi
kenyataan nihil. Yang beliau lihat hanyalah hasil, tanpa mau tahu bagaimana
prosesnya. Dan kalau semua nya itu ternyata tidak membuat beliau bangga serta
tak ada artinya, lalu harus bagaimana? Pertanyaan besar dan pastinya semua
orang cuma sepakat mencibir bahwa saya anak yang tidak punya prinsip dan
pastinya banyak yang berkata bahwa saya anak yang aneh atau malah dibilang
lembek dan cemen.
Disitulah saya kadang sedih, ketika saya merespon jawaban
atas nasehatnya dianggap bahwa saya membantah orang tua, ketika saya berkata
TIDAK maka dianggap penolakan dan tidak mau berbakti terhadap orang tua, ketika
saya respon YA dan harus berpura-pura dalam kebenaran bahwa saya tidak setuju,
dan ketika saya DIAM untuk tidak berkata YA dan tidak berkata TIDAK justru
malah dianggap cuek, dianggap ngambek, dianggap ngeyel, tidak peduli dan
sebagainya. Tampaknya hanya seperti makan buah simalakama, ke kanan salah ke
kiri salah, rasanya seperti hidup segan matipun tak mau, Lalu bagaimana kah
saya harus berbakti kepada orang tua agar mendapat ridhoNYA? Adakah obat yang
harus dibayar untuk menggapai ridhoNYA dan membuat mereka bangga? Adakah harga
mahal yang harus dibayar untuk berbakti kepadanya? ataukah pengorbanan seumur
hidup yang diperlukan? ataukah kebahagiaan orangtua harus ditukar dengan nyawa
seorang anak karena saking susah dan sangat berharganya? Saya tak pernah tau
jawaban dan alasannya, maka ada kemungkinan lainnya lagi bahwa beliau tidak
suka dengan anaknya, beliau tidak mengharapkan anak yang seperti ini, beliau
butuh anak yang selalu merespon YA, tak peduli apapun sulitnya si anak, tak
peduli anak usia berapapun, tak mau tahu bagaimana caranya. Beliau hanya butuh
anak yang mirip sepertinya, yang pandai mengaji, karir bagus, gaji tinggi,
harta berlimpah, istri sholehah. Tapi bagaimana mungkin di usia anak seperti
saya ini bisa menempuhnya dalam sekejap. Bagaimana mungkin juga saya harus
selalu berkata YA terhadap segala keinginan orangtua tanpa pertimbangan matang dan
melihat kelebihan dan kekurangannya. Dan pada akhirnya anaklah yang akhirnya
juga disalahkan karena tidak bisa berhitung dengan cermat. Bagaimana mungkin
saya juga harus menjawab gengsi beliau karena ajakan temannya untuk
menguliahkan anaknya di luar negeri, dan saya tau biayanya tidak murah.
Bagaimana mungkin saya harus menggubris tawaran temannya untuk masuk di
universitas kelas atas jika nilai saya tidak memenuhi syarat. Bagaimana mungkin
saya harus terima tawaran lowongan kerja relasinya jika saya sendiri dianggap
anak bawang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin saya menerima
sekretarisnya sebagai calon istri jika hanya ingin mendapatkan kecantikannya
yang takut melihat ayah saya sebagai figure seorang BOS dan khawatir dianggap tidak
menghargainya. Bagaimana mungkin saya harus dijodohkan dengan seorang wanita
yang baru beliau temui sekali dan langsung menilai bahwa anak itu anak yang
baik dan cocok untuk dijadikan calon istri untuk saya. Dan bagaimana mungkin
saya menjawab semua pertanyaan itu dan ketika orang-orang yang berbicara hal
tersebut pergi, lari, pensiun, bukan ahli di bidangnya dan pada akhirnya saya
sendiri yang harus bertanggung jawab atas semua pernyataan itu. Tapi lagi-lagi
memang anaklah yang salah. Mungkin beliau lebih senang dengan kantornya yang
setaip pagi menyapanya dengan segelas teh tarik, sofa empuk, bangku besar ala
bos, kamar mandi privat yang tersedia air hangat dan handuk, fasilitas TV
kabel, akses internet tanpa batas, pulsa telefon unlimited. Mungkin beliau
lebih senang dengan kolega yang selalu menyapanya dengan senyum, selalu
menuruti perintahnya, bisa diajak bercanda, mengerti pengelolaan perusahaan,
mengerti kebutuhan BOS nya, lebih bisa menghamburkan uang untuk alasan sedekah,
sarana ibadah, beramal kepada teman. Atau mungkin juga beliau lebih bangga memiliki
anak yang sama seperti relasinya yang merupakan anak bupati yang hartawan, anak
anggota dewan yang punya bisnis besar, anak kyai yang taat agama, sedangkan saya
belum ada apa-apanya. Mungkin baginya saat ini adalah bahwa anak merupakan ujian
dalam hidupnya. Sehingga ketika kembali ke rumah yang ada hanya rasa kesal. Dan
rumah hanyalah sebagai sarana untuk istirahat malam untuk melanjutkan kehidupan
keesokan hari di dunianya.
Lalu apakah itusalah? TIDAK. Tidak pernah ada kata bahwaa
orangtua salah, anaklah yang jadi penyebabnya karena terlahir di dunia. Saya
akui disini saya yang salah, dianggap salah, ngeyel dan buat banyak kekecewaan,
tetapi insyaallah saya tidak pernah meninggikan ucapan saya terhadap orang tua,
saya tidak pernah membentak, marah, mata melotot, menggurui orang tua, dan saya
tidak pernah membanting pintu ataupun melempar benda untuk mengungkapkan
kekesalan. Atau mungkin juga tubuh saya ini sudah dipenuhi dengan syaithan,
tetapi insyaallah saya tidak pernah bergaul dengan kawan-kawan yang merokok,
minuman keras, berpesta larut malam, tidak sembahyang. Saya juga selalu
berusaha untuk tidak bercampur aduk bebas dengan lawan jenis, cekikikan,
pegang-pegangan, bermesraan. Atau mungkin ada orang lain yang benci bahkan iri
dengan keluarga kami (ah saya tidak mau suudzon tentang itu, toh keluarga kan
kita yang bentuk sendiri). Biar bagaimanapun mungkin akan mudah bagi orangtua
untuk memiliki anak yang baru, memilih anak yang sesuai harapan, memilih anak
yang bisa selalu menjawab YA. Akan tetapi anak tidak bisa memilih orang lain
sebagai orangtua kandung. Padahal disisi lain seorang anak butuh bimbingan, butuh
pantauan ketika sedang belajar bagaimana caranya naik sepeda, butuh pelukan
ketika terjatuh dari sepeda roda tiganya,
butuh usapan ketika permennya diambil oleh temannya, butuh tempat
bersembunyi ketika kawannya menjahilinya, butuh seorang teman, butuh partner
dalam kehidupan, butuh sharing bagaimana menjalani kehidupan, butuh cerita
mengenai sekolah dasar, butuh pengalaman memasuki dunia kuliah dan dunia kerja,
butuh brain storming, tukar pikiran, dan banyak lagi…yah tapi anak memanglah
hanya anak,yang hanya tahu aturan bahwa orangtualah yang selalu benar, tapi
anak tidaklah sama dengan anak buah yang bisa diperintah semaunya dan dipecat
jika salah aturan, anakpun tak pernah berharap mempunyai kesalahan dan dicap
salah, anakpun tak pernah menuntut terlahir dari keluarga presiden, tak pernah
berharap ayahnya pewaris tahta kerajaan,yang anak butuhkan hanyalah selembar
kain hangat dan menangis sekencang-kencangnya saat dilahirkan ke dunia namun anak
itupun tak bisa melihat apakah orangtuanya menangis bahagia atas kelahirannya.
Dan melalui tulisan inilah rasa itu saya ungkapkan, tanpa harus saya bersuara,
tanpa saya harus berkata TIDAK tanpa harus berkata YA, dan dari tulisan ini saya
mampu berkata dalam diam. J
Nb: tak lama berselang saya pun menuliskan pesan singkat yang
rencananya akan saya kirim kepada ayah saya, namun sampai saat ini tak pernah
terkirim dan masih saya simpan di draft, saya kahawatir justru sms ini malah membuatnya
tambah murka. :(
No comments:
Post a Comment