Thursday, February 26, 2015

PROD OF YOU

Hai para blogger dan pecinta dunia maya, posting saya kali ini akan mendeskripsikan salah seorang yang sangat saya banggakan dan tiada duanya dalam hidup ini. Pasti kalian sudah tau siapa itu? Dan saya yakin kalian juga sepakat dengan jawaban saya ini yaitu “orangtua”, ya betul merekalah yang seharusnya kita banggakan, karena dengan adanya mereka tentunya kita bisa lahir ke dunia. Dan yang paling penting adalah dengan ridho orangtua kita mendapatkan ridhoNYA (bukan begitu???), kalau kita hidup bergelimang harta tetapi orang tua tidak ridho dan tidak bangga lalu buat apa kita punya segalanya. Jika kita menduduki jabatan tinggi tapi orangtua tidak senang lalu untuk apa gunanya? Jika kita bertitel tinggi tetapi dianggap tak peduli orangtua maka bagaimana kita mendapat ridhoNYA? Jika kita beribadah mati-matian sebanyak-banyaknya tetapi tidak mendapat ridho orangtua, apakah kita yakin bahwa amalan kita diterima? Mudah-mudahan kita masih diberi kesempatan untuk berbakti kepada orangtua, apapun kondisinya sehingga segala yang kita lakukan sebagai seorang anak tidaklah sia-sia. Amiin Ya Robbal Alamin. Berkenaan dengan pentingnya orangtua itu saya akan mencoba menuangkannya dalam tulisan ini, tetapi kali ini saya tidak memilih IBU sebagai bahasan utama, bukan karena beliau tidak membanggakan, juga bukan karena beliau tidak kami cintai dan tidak kami sayangi tetapi seorang IBU sudah pasti harus menjadi idola bagi anak-anaknya. Selain itu sudah banyak literatur, ungkapan, petuah yang menyatakan bahwa seorang IBU lebih diutamakan ketimbang ayahnya. Bahkan sampai dinobatkan dengan adanya peringatan hari spesial untuk IBU setiap 22 Desember. Lalu bagaimana dengan Ayah? Adakah yang mau membanggakannya? Mungkin sayalah salah satu orang yang masih diberikan kesempatan untuk hidup, menuliskan cerita tentangnya dan membanggakannya meskipun hanya dapat diungkapkan melalui tulisan ini.

Saya yakin ketika menulis tentang seorang “ayah”, tidak banyak orang yang tertarik untuk membacanya. Tidak banyak yang mau merespon, biasanya hanya terkesan klasik, lebay (berlebihan), tidak greget dan tidak estetik untuk diceritakan. Namun saya akan tetap menuliskan cerita berdasarkan yang saya alami. Dan untuk menjaga kerahasiaan serta privasi beliau saya akan tetap menyamarkan nama-nama, atau sebutan yang langsung berhubungan erat dengannya. Dengan harapan juga bahwa yang akan kalian ambil dari tulisan ini adalah hal-hal positif berkaitan dengan apa yang ditulis bukan tentang siapa yang ditulis. Dan pada akhirnya akan ada sebuah penilaian yang bersifat objektif dan bukan subjektif.


Sebut saja namanya H, saya memangil ayah saya dengan sebutan Bapak H, tidak banyak cerita yang bisa didengungkan kembali ketika masa kecil beliau, tetapi saya pun sering mendengar beliau mengisahkan dirinya sendiri semasa kecil. Beliau merupakan anak terakhir dari 7 saudara yang berjenis kelamin lelaki semuanya. Ibunya (nenek saya) sudah meninggal beberapa tahun lalu pada hari-hari setelah lebaran. Sedangkan ayahnya (kakek saya) sudah wafat terlebih dahulu ketika ayah saya menginjak bangku sekolah. Terlahir di akhir keturunan tentunya membuat beliau menjadi anak yang paling dimanjakan, tetapi karena memiliki saudara kandung dengan jenis kelamin yang sama semua tentunya akan merepotkan dan lebih identik dengan aneka perebutan, perkelahian ala anak-anak dan semacamnya. Beliau juga sering mengaku memiliki tubuh yang tidak tinggi dan juga tidak rupawan, tidak seperti anak jaman sekarang. Terkadang kekurangan tersebut masih sering beliau dengungkan sendiri sampai sekarang, mungkin dalam rangka untuk introspeksi dirinya sendiri. Menjadi anak terakhir tentunya akan mendapat “serangan” dari kakak-kakaknya dan mungkin itulah yang membuat mentalnya menjadi kuat, tahan banting dan tidak lembek. Meskipun dari keluarga apa adanya dan sangat sederhana di pelosok jawa tengah, beliau bertekad mengharumkan nama keluarganya agar tidak dipandang remeh oleh dunia. Beliau pun berhasil membuktikan dengan masuk sekolah (waktu itu masih sangat jarang) bahkan bisa memasuki perguruan tinggi milik negara dengan bidang studi akuntansi yang notabene gratis dan memiliki saingan dari penjuru nusantara. Dan saya yakin untuk mencapai hal itu dibutuhkan tekad yang kuat, pikiran yang hebat, tindakan yang tidak lembek, mental baja dan segala hal yang dibutuhkan untuk mengarungi besarnya Jakarta apalagi mengingat beliau adalah hanya seorang anak yang berasal dari pelosok daerah Jawa. Secara garis besar kisah hidupnya hampir mirip seperti kisah ikal dalam lascar pelangi ataupun mirip dalam riwayat cerita anak singkong karya salah satu menteri di negeri ini yang sukses from zero to hero. Mungkin saat itu beliau akan berkata terhadap keluarganya “ Nih saya bisa buktikan bahwa saya bisa tembus ke Jakarta”.Congratulations.

Cita-citanya mungkin tidak banyak dan tidak muluk-muluk tetapi obsesinya selalu tercapai. Mungkin itulah hasil tempaan keluarganya selama bertahun-tahun,  terbukti saat ini beliau menduduki jajaran direksi di sebuah anak perusahaan yang berafiliasi erat dengan perusahaan milik Negara. Tentunya bukan perkara mudah untuk menapaki kedudukan itu. Awalnya setelah lulus kuliah dari pergurun tinggi milik Negara, beliau bekerja beberapa tahun di Sumatera sebagai bentuk ikatan dinas oleh perguruan tinggi tersebut, beliaupun sempat memutuskan resign dan membayar penalty atas keputusannnya tersebut. Lalu malang melintang di perusahaan besar lainnya hingga terakhir posisi direksi inilah yang beliau capai. Tentunya posisi ini bukanlah main-main apalagi yang digelutinya adalah soal kelistrikan dan batu bara sebagai bisnisnya. Hajat hidup orang banayak lah yang ditanganinya. Disamping itu beliau juga memiliki yayasan bersama dengan beberapa orang kompeten di bidang lembaga pendidikan islam terpadu. Tak tanggung-tanggung beliau duduk bersama dengan orang-orang kelas atas, CEO perusahaan, politisi, anggota dewan, mantan kepala daerah, hingga tokoh agama. Beliau juga memimpin sebuah lembaga kemakmuran masjid yang rutin mengisi ceramah, rutin aktif dalam pengajian pekanan, rutin ibadah wajib, ibadah besar haji lebih dari 1x termasuk memberangkatan orang tuanya haji, ibadah Sunnah harian hingga amalan Sunnah kecil lainnya. Dari semua sisi tentunya sangat membanggakan, karir atau pekerjaan sudah pasti masuk kategori TOP manajemen yang tentunya berimbas baik bagi keuangan. Dari segi pendidikan juga tentunya memiliki kualifikasi tersendiri untuk memasuki jajaran direksi, selain faktor duniawi yang baik di berbagai sisi sisi ukhrowi pun lengkap, ibadah komplit, agama baik dan banyak hal lainnya. Dan kalau kalian googling nama beliau maka hasilnya cukup memuaskan untuk kategori seorang ayah, meskipun tidak setenar bapak presiden ataupun menteri dan jajaran anggota dewan, tetapi sudah membuktikan lebih dari cukup sebagai seorang ayah. Tak heran mungkin relasi selevelnya akan silau melihat kejayaannya, hartanya, kendaraannya, tempat tinggalnya ataupun koceknya. Secara individual beliau sedang menapaki puncak tertinggi dalam hidupnya. Semuanya dicapai sendiri, didapat sendiri dan berdampak bagi dirinya sendiri. Maka layak dong kalau saya membanggakan ayah saya dari semua hal itu. Beliau saya anggap sebagai pribadi mandiri yang perfect alias sempurna.

Lalu bagaimana dengan asmara hingga keluarga beliau? Bukankah dibalik ayah yang sukses ada keluarga yang mendukungnya? Bukankah ada seorang ayah berarti juga memiliki istri yang selalu mendampinginya? bukankah seseorang disebut ayah jika memiliki anak dalam keluarganya? Ya sayalah salah satu bagian dari hal tersebut, saya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara keluarga kecil beliau dan saya merupakan pemuda yang hampir berumur kepala 3 yang sayangnya belum bisa berbuat banyak dan masih dianggap remeh serta jauh dari harapan orangtua. Mungkin saya adalah satu-satunya anak yang tidak bisa memanfaatkan baik potensi yang dimiliki ayah dan keluarga. Singkatnya saya terlahir dari rahim ibu saya yang pada waktu itu ayah saya masih bekerja di luar pulau jawa ber tugas dinas sehingga tidak memungkinkan untuk menengok kelahiran saya. Saya pun diasuh oleh ibu kandung saya dan orangtua beliau (kakek-nenek dari ibu) di pelosok daerah Jawa Tengah. Tidak banyak yang saya tau dari masa kecil saya dan saya juga tidak pernah banyak mendengar dari kisah asmara mereka berdua. Yang saya ingat saya hidup dalam keadaan cukup tetapi ada sesuatu yang selalu terbesit dan teringat yaitu ketika masa kecil saya pernah sesekali diisi dengan adegan dimarahi, yang lebih sering saya dengar ketika kecil adalah perihal ayah saya yang kadang melotot, bernada tinggi, melempar gelas, sepatu bola yang becek bahkan membentak ketika saya susah bangun pagi, kadang membuat saya menangis di kamar mandi dan terlambat sekolah. Meskipun kejadiannya jarang tetapi pasti akan membekas dan menciptakan kesan karena tidak seperti image ayah di dunianya yang berbalut dengan kesuksesan. Bukan saya sedih karena diomeli, tapi saya sedih karena hidupnya di luar rumah tidak sejalan lurus dengan di dalam rumah. Selain itu, yang saya tau bahwa saya adalah anak pertama yang prestasinya jauh dari kata membanggakan. Prestasi trophi dan piagam “bintang kecil” ketika TK tak bisa membuat orangtua saya bangga, bahkan rangking 3 besar di SD pun tidak berarti apa-apa bagi mereka. SD saya yang berjarak lebih dari 10 KM dari rumah harus saya tempuh +/- 1 jam dengan jemputan, alhasil saya harus bangun lebih pagi dari anak lainnya kalau tidak ingin terlambat. Dan di SD itu saya selalu diajarkan berbuat baik, berbakti kepada orangtua dan mengharap ridhoNYA melalui bakti kita terhadap orangtua. Saya pikir hal tersebut adalah prinsip yang bagus, dan kalaupun kita tidak bisa membuat mereka bangga maka janganlah buat mereka kecewa, jika tidak bisa memberikan hal yang baik pada orangtua maka janganlah menunjukkan keburukan pada mereka. Dan terkadang itu yang membuat saya sedikit pasif, pendiam, introvert karena tidak mau mengecewakan mereka. Jika saya tidak punya uang untuk membelikan mereka kado ulang tahun, saya lebih baik hanya mengucapkan doa, berdiam dan tidak banyak tingkah dibandingkan saya harus pinjam uang kemana-mana, membuat adonan kue, ataupun berjibaku untuk membuat surprise. Saya lebih takut dimarahi orangtua karena pinjam uang hanya untuk beli kado untuk mereka. Saya lebih takut dimarahi orangtua karena membuat dapur kotor demi berkreasi membuat kue istimewa untuk mereka, saya lebih takut dimarahi karena berantakan membuat kreasi surprise yang saya tidak tahu apakah mereka bangga dengan hasil karya saya. Saya lebih memilih kurus karena takut minta uang jajan, dibandingkan harus gemuk karena banyak membeli makanan sehat. Saya lebih memilih bodoh karena tidak punya uang untuk beli buku pelajaran dibandingkan harus beli buku dengan membebani keuangan orangtua agar jadi ranking 1. Dan saya lebih memilih diam ketika dimarahi daripada berkata sepatah kata dan dianggap membantah kalimat orangtua. Iya semua itu karena demi wujud bakti kepada orangtua, tetapi nyatanya apapun yang saya lakukan belum bisa membuat mereka bangga. Hingga akhirnya beranjak SMP saya masuk ke pesantren (boarding school) di daerah Banten dan lagi-lagi belum bisa membanggakan karena hanya mendapat ranking 3 besar bukan rangking yang utama. Begitu juga SMA saya masuk lagi ke “penjara suci” yang lagi-lagi saya hanya mampu menjawab tantangan dengan ranking 3 besar lagi, hafalan quran hanya beberapa juz dan juga tidak diiringi dengan keberhasilan masuk ke perguruan tinggi negeri favorit melalui seleksi nasional. Ditambah lagi saya mengalami insiden yang membuat saya patah tulang dan merasa jadi anak paling menyusahkan dan tidak berguna di mata mereka. Apalah yang bisa dibanggakan dari saya dan saya pikir wajarlah kalau beliau berlaku keras, membentak, dan banyak mensehati saya. Hal itupun masih terjadi sampai sekarang, ditengah sosoknya yang sangat sempurna di berbagai bidang dunia dan akhirat tetapi beliau memiliki karakter yang agak berlawanan dalam keluarga. Berbeda dengan pepatah yang mengungkapkan “padi semakin berisi semakin merunduk” belum lagi ditambah dengan beban saya sebagai anak pertama yang jauh dari harapan. Mungkin sebagian orang memang bilang bahwa karakter itu tidak bisa dirubah, tetapi saya ingin memiliki sebuah keluarga yang harmonis, tentram, indah ditengah segala kelebihan yang dimiliki saat ini. Lain halnya kalau kami hidup dalam serba kekurangan, kehimpitan sehingga harus mencaci-maki sana sini, mengumpat tentang tidak adilnya hidup, menghalalkan segala cara untuk mengisi perut, bahkan mengkombinasikan otak dan otot demi ambisi tertentu  ataupun dengan sifat arogansi lainnya. Dan disitu saya merasa dada mulai sesak dan mata berkaca-kaca bahwa kilaunya pribadi yang sempurna di dunia beliau tidak sebanding dengan ketika menjadi sosok ayah di dalam keluarga.

Malam inipun, otak saya memutarkan kembali memori masa kecil saya. Hari ini pula sebetulnya bertepatan dengan 40 hari kepulangan kami dari tanah suci dalam rangka ibadah umroh. Semenjak kepulangan umroh saya teringat seorang kakek 80 tahun yang sering dimarahi ayah saya karena terlalu banyak ribet dalam ibadah umroh. Tetapi ayah saya tak mau menyebutnya dengan kata “memarahi” dan lebih memilih kata “menasehati”. Hanya saja saya tak bisa membedakan kata “menasehati” apabila disertai dengan nada yang tinggi, mata melotot, tangan terangkat, tanpa memberikan kesempatan lawan bicara untuk memberikan penjelasan, diakhiri dengan intonasi yang menekan lalu berpaling pergi seolah tidak mau melihat orang yang dinasehatinya lagi, serta dilanjutkan dengan ocehan panjang sambil berlalu. Semenjak itu kadang saya teringat wajah kakek itu, termasuk sore ini. Sore hari, seperti biasanya sebelum maghrib tiba, ayah saya sudah sampai dirumah selepas seharian bekerja kelelahan dikantor. Kebetulan hari ini hari kamis dan beliau sedang shaum Sunnah sambil menunggu waktunya berbuka puasa. Setelah membuka pintu rumah lalu saya yang ditemui selanjutnya. Sudah hampir genap satu tahun juga saya tidak ada aktivitas utama, saya hanya sibuk di rumah. Pekerjaan yang dulu saya geluti hampir 5 tahun harus saya akhiri maret tahun lalu untuk menebus keterlambatan kuliah. Alhasil semenjak resign di maret 2014 saya fokus untuk penyelesaian mata kuliah dan skripsi hingga akhirnya saya selesai studi S1 di salah satu perguruan tinggi swasta pada desember 2014. Sebelum lulus S1 ini saya adalah mahasiswa lulusan D3. Dan semenjak kelulusan S1 ini saya belum berupaya mencari lowongan pekerjaan kembali karena banyak hal terutama yang terkait dengan cita-cita, impian orangtua dan ridho mereka yang masih besar mengganjal apalagi kalau sudah soal biaya. Walhasil saya pun hanya menganggur dirumah dan ayah saya pun pastinya gerah melihat saya hanya berdiam dirumah, apalagi sampai hitungan bulan. Akan tetapi beberapa waktu lalu kami sekeluarga sepakat untuk bulatkan tekad bahwa saya akan terlebih dahulu melanjutkan S2 di negeri seberang dan saya sedang mengupayakan segala bentuk persyaratannnya selama beberapa bulan ke depan ini paling tidak hingga Agustus tahun 2015 sudah komplit. Mungkin orang lain akan melihat apa yang saya kerjakan belakangan ini adalah hal bodoh ditengah segala kondisi berkecukupan saya, di tengah segala kebutuhan hidup yang selalu terpenuhi. Bodoh karena di usia yang hampir beranjak kepala 3 baru saja menuntaskan kuliah sarjana, padahal dengan ayah saya yang hebat tentunya tak ada kesulitan faktor biaya. Bodoh padahal saya pernah kuliah D3 di sekolah tinggi milik Negara tetapi masih saja harus susah payah mencari lowongan kerja, yang pada kenyataannya juga bahwa ayah saya pernah menjadi bagian dan malang-melintang di perusahaan Negara. Juga saya disebut bodoh karena di usia yang sudah mulai menua belum punya bekal apa-apa sehingga mana mungkin bisa berpikir mengenai jodoh dan naik ke pelaminan, padahal disisi lain ayahnya memiliki relasi yang segudang. Mungkin berbekal segala kebodohan itulah wajar bila ayah saya mulai tidak suka dengan keseharian saya. Dan ketika bertemu saya sore ini dirumah pun seolah hanya menggelengkan kepalanya. Sore ini sepulang dari kantor beliau membawa beberapa lembar kain batik tulis untuk dirajut menjadi pakaian. Ibuku yang sedang sibuk mencuci piring luput untuk menyambutnya, bahkan adikku yang perempuan hanya berkomentar sedikit lalu pergi dan berkata bahwa bahan batiknya berwarna dan bercorak gelap seperti selera untuk orangtua. Tapi siapa sangka apa yang diucapkan adikku cukup membuat geger. Siapa sangka ternyata sore ini menjadi sumber masalah yang tidak pernah saya duga. Selepas maghrib dan berbuka puasa beliau uring-uringan soal harga-menghargai pemberian orang (batik yang dibawanya). Ada raut kecewa karena batik tersebut tidak digubris oleh ibu saya yang sedang cuci piring, apalagi ditambah komentar adik saya tadi yang menyinggung hatinya dan dianggap menghina pemberian orang. Saya yang sedari tadi sedang membaca tilawah malam jum’at dan memegang quranpun berhenti sejenak dan ikut menambahkan komentar dan meluruskan bahwa hal tersebut bukan lah menghina dan tak perlulah ditanggapi dengan marah-marah atau emosi. Dan siapa sangka pernyataan saya membuatnya tambah tersinggung dan tidak terima kalau dianggap sedang memarahi.

“Batik ini tolong dong dihargai, saya kan kerja bukan nyopet” Jawabnya yang membuat saya tercengang,
“Lho bapak kenapa sih pulang  ko marah-marah, bawa batik malah marah-marah?”responku geram
“kamu ini juga anak pertama kalau dikasih tau ngeyel, anak jaman sekarang kalau dikasih nasehat orang tua malah ngelawan, kamu ini udah gede selalu ngebantah, kamu ini…, kamu itu …. bla….blaa….blaaa….” ucapnya lagi lebih panjang tanpa putus dengan nada meninggi.

Pernyataan ayah saya itu membuat saya tertegun, mungkin bagi orang terkesan sepele tapi bagi saya ini cukup dalam apalagi diucapkan oleh seorang ayah yang jarang banyak bicara. Bukan seperti guru yang memarahi muridnya karena tidak mengerjakan PR, lebih dari itu. Bukan seperti ustadz yang memarahi santrinya karena sholat bercanda, lebih dari itu. Bukan seperti menteri dan atasan yang sering memaki anak buahnya, lebih dari itu. Seperti ada dendam, seperti ada rasa yang telah sangat lama dipendam dan membludak. Suasanapun langsung berubah dan saya segera menutup alquran yang daritadi saya pegang dan tak tahu harus bagaimana serta tak tahu apa maksudnya. Tangan beliau pun mengepal sambil bersumpah serapah seolah mau menghantam wajah ini. Bahkan hingga terasa anginnya akibat kibasan tangannya yang hampir menuju wajah ini. Seolah melempar sesuatu ke arah wajah saya tapi saya tak tahu apa itu. Dan baru kali ini saya merasakan lagi hal itu setelah sekian lama. Seketika menjadi hening. Beliau pun berlalu, keluar kamar, keluar rumah, menuju masjid karena sesaat adzan isya berkumandang. Tak disangka bahwa kalimat tadi yang saya ucapkan ternyata berefek luar biasa. Saya yakin itulah momen emosional sekaligus paling jujur dalam hidupnya, saya yakin itulah saat ucapan paling jujur dari seorang ayah yang berbicara tentang saya sebagai anak yang tidak bisa dibanggakan, yang memalukan tidak memiliki pekerjaan, yang membebani keluarga karena kuliah masih dibiayai. Bukan kalimatnya yang saya takutkan, tetapi kesimpulan yang terpendam dalam hatinya selama ini yang membuat saya tertegun, ternyata saya memang anak yang tidak ada artinya, yang tidak bisa dibanggakan seperti kebanggaan atas hidup nya sendiri, yang tidak bisa dielu-elukan layaknya perusahaan yang beliau pimpin, yang mungkin saya tidak bisa masuk syurga karena ibadahnya tidak selevel dengan beliau. Persis seperti kejadian masa kecil dulu. Gaya khasnya terulang lagi. Bagaimana tidak, meskipun bicaranya hanya sesekali tetapi banyak makna didalamnya. Seperti kilat di saing hari, cepat, membekas, tajam tak terlihat lagi penampakannya namun efek yang ditimbulkannya sangat dahsyat, cukup untuk menyambar pohon, membakar rumah ataupun membuat nyawa melayang. Disitu saya jadi jadi berpikir namun makin bingung.


Mungkin saya tidak tahu rasanya bekerja bangun pagi menghadapi macet dan harus datang paling awal sebagai contoh pemimpin di perusahaaan, mungkin saya juga tidak tahu rasa lelah ayah saya seharian di ruangan ber AC menahan dingin hanya untuk menandatangani sebuah kontrak bernilai miliaran rupiah, sayapun tidak tahu rasanya memimpin rapat dengan anak buah yang masih muda belia dan menghadapi pertanyaan kritis mereka, saya juga tidak tahu rasanya ketika kolega beliau “menuntut” tanding golf, beradu tennis, bernyanyi karaoke ataupun meminta makan siang dan hiburan lainnya. Saya juga tidak tahu rasanya berjam-jam di mobil menanti macet di sore hari hanya untuk kembali kerumah,,,ya saya tidak pernah tahu lelahnya menjadi bos dikantoran dengan segudang pekerjaan dan kahawatir akan masa pensiunnya sebentar lagi. Disamping itu saya juga tidak pernah tau lelahnya menjadi orangtua . Tetapi sesungguhnya anakmu juga juga lelah di dunianya sendiri, tetapi tidak akan terasa lelah jika semua itu dihargai dalam rangka mewujudkan bakti bagimu, anakmu juga sedang berjuang, berjuang dengan dunianya, berjuang dengan usianya, sedang berjuang untuk melebihi dirimu, berjuang dengan mendapatkan rangking sebisanya, berjuang menunjukkan bahwa hasil tes bakat SMA nya memiliki score IQ tinggi dan mampu untuk bersaing di fakultas kedokteran, arsitek, ekonomi, tapi anakmu bimbang dan juga takut memilih jurusan itu karena memerlukan biaya tinggi dan tentunya akan menguras hasil jerih payah ayahnya, anakmu pun juga harus berjuang mengikuti seleksi olimpiade demi mendapatkan beasiswa, berjuang mendapatkan bangku universitas negeri, berjuang mencari pekerjaan, berjuang mencari pasangan, berjuang memiliki segudang bakat dan kemampuan, serta berjuang menunjukkan jati dirinya agar bisa lebih baik dari ayahnya dan menjadi anak yang diharapkan. Tapi nyatanya semua itu tidak membuatnya bangga. Beliau tidak bangga dengan hasil tempaan pesantren 6 tahun di SMP dan SMA, karena hanya bangun siang yang bisa kulakukan apalagi ditambah jarang sholat shubuh berjamaah dengan ayahnya. Beliaupun juga tidak bangga dengan status D3 anaknya yang pernah kuliah di sebuah sekolah tinggi Negara, karena baginya ratusan ribu mahasiswa kuliah disana, lulus dan sudah bekerja, beliau lebih senang fokus dan geram pada keterlambatan kelulusan S1 anaknya, di sisi lain sudah banyak mahasiswa yang bertingkat S2 yang bekerja di perusahaannya. Beliau juga tidak bangga ketika anaknya bekerja di lembaga keuangan swasta, tidak bangga ketika anaknya berkantor hanya 10 menit dari ruamahnya, tidak bangga anaknya menjadi karyawan tetap, tidak bangga anaknya diangkat jabatannya dan mengejar mimpi-mimpinya sendiri. Lalu kalau ternyata semua itu tidak membuatnya bangga, untuk apa aku mati-matian mengejar cita-cita? Untuk apa kalau semua itu ternyata tidak diinginkan dan tidak membanggakannya? Mungkin banyak mimpi yang tidak bisa diukir oleh anaknya. Dan mimpi sederhanapun belum bisa saya wujudkan. Saya hanya mencoba melakukan apa yang saya bisa yaitu dengan berbakti kepadanya melalui sikap nurut dan tidak banyak nuntut. Saya tidak pernah meminta untuk masuk sekolah favorit karena saya tahu saya tidak mampu memiliki nilai besar, saya juga tidak meminta untuk masuk fakultas favorit karena saya tahu biayanya besar, saya juga tidak pernah menuntut untuk disertakan menjadi karyawan di kantor yang beliau pimpin, saya juga tidak pernah sedikitpun meminta uang rokok seperti pria kebanyakan saat ini dan saya sama sekali tidak pernah tahu apa seperti apa rasanya rokok, sayapun tidak pernah sedikitpun tertarik ikut kongkow, berpesta, dunia malam, modifikasi kendaraan dan kehidupan glamour lainnya. Saya juga tidak pernah meminta motor gede untuk pamer seperti anak-anak muda kebanyakan di malam minggu bahkan saya tidak pernah tau rasanya malam minggu itu seperti anak muda katanya. Saya juga tidak menuntut harus punya calon istri berambut panjang, rok mini dan keseksian lainnya, karena agama saya mengajarkan untuk menutup aurat. Saya juga tidak menuntut pasangan yang harus beradat jawa, harus berharta kaya raya, harus cantik rupawan, ataupun wanita yang rajin puasa sunnah karena saya juga sadar saya jauh dari kriteria itu semua. Saya juga tidak pernah menuntut mobil pribadi yang kecil, bagus, lincah ataupun irit yang bisa dipamerkan ke teman-teman, saya juga tidak pernah meminta uang untuk jajan, pakaian parlente, gaya rambut jabrik ke atas, celana jeans ketat, harta berlimpah, barang elektronik, gadget plus aksesoris, sebidang tanah, rumah tipe kecil ataupun harta warisan lainnya tidak pernah saya pinta. Saya cuma berharap dengan kuliah saya yang sederhana ini saya bisa bekerja lalu membina keluarga kecil yang bahagia dan membuat orangtua bangga. Tapi kenyataan nihil. Yang beliau lihat hanyalah hasil, tanpa mau tahu bagaimana prosesnya. Dan kalau semua nya itu ternyata tidak membuat beliau bangga serta tak ada artinya, lalu harus bagaimana? Pertanyaan besar dan pastinya semua orang cuma sepakat mencibir bahwa saya anak yang tidak punya prinsip dan pastinya banyak yang berkata bahwa saya anak yang aneh atau malah dibilang lembek dan cemen.

Disitulah saya kadang sedih, ketika saya merespon jawaban atas nasehatnya dianggap bahwa saya membantah orang tua, ketika saya berkata TIDAK maka dianggap penolakan dan tidak mau berbakti terhadap orang tua, ketika saya respon YA dan harus berpura-pura dalam kebenaran bahwa saya tidak setuju, dan ketika saya DIAM untuk tidak berkata YA dan tidak berkata TIDAK justru malah dianggap cuek, dianggap ngambek, dianggap ngeyel, tidak peduli dan sebagainya. Tampaknya hanya seperti makan buah simalakama, ke kanan salah ke kiri salah, rasanya seperti hidup segan matipun tak mau, Lalu bagaimana kah saya harus berbakti kepada orang tua agar mendapat ridhoNYA? Adakah obat yang harus dibayar untuk menggapai ridhoNYA dan membuat mereka bangga? Adakah harga mahal yang harus dibayar untuk berbakti kepadanya? ataukah pengorbanan seumur hidup yang diperlukan? ataukah kebahagiaan orangtua harus ditukar dengan nyawa seorang anak karena saking susah dan sangat berharganya? Saya tak pernah tau jawaban dan alasannya, maka ada kemungkinan lainnya lagi bahwa beliau tidak suka dengan anaknya, beliau tidak mengharapkan anak yang seperti ini, beliau butuh anak yang selalu merespon YA, tak peduli apapun sulitnya si anak, tak peduli anak usia berapapun, tak mau tahu bagaimana caranya. Beliau hanya butuh anak yang mirip sepertinya, yang pandai mengaji, karir bagus, gaji tinggi, harta berlimpah, istri sholehah. Tapi bagaimana mungkin di usia anak seperti saya ini bisa menempuhnya dalam sekejap. Bagaimana mungkin juga saya harus selalu berkata YA terhadap segala keinginan orangtua tanpa pertimbangan matang dan melihat kelebihan dan kekurangannya. Dan pada akhirnya anaklah yang akhirnya juga disalahkan karena tidak bisa berhitung dengan cermat. Bagaimana mungkin saya juga harus menjawab gengsi beliau karena ajakan temannya untuk menguliahkan anaknya di luar negeri, dan saya tau biayanya tidak murah. Bagaimana mungkin saya harus menggubris tawaran temannya untuk masuk di universitas kelas atas jika nilai saya tidak memenuhi syarat. Bagaimana mungkin saya harus terima tawaran lowongan kerja relasinya jika saya sendiri dianggap anak bawang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana mungkin saya menerima sekretarisnya sebagai calon istri jika hanya ingin mendapatkan kecantikannya yang takut melihat ayah saya sebagai figure seorang BOS dan khawatir dianggap tidak menghargainya. Bagaimana mungkin saya harus dijodohkan dengan seorang wanita yang baru beliau temui sekali dan langsung menilai bahwa anak itu anak yang baik dan cocok untuk dijadikan calon istri untuk saya. Dan bagaimana mungkin saya menjawab semua pertanyaan itu dan ketika orang-orang yang berbicara hal tersebut pergi, lari, pensiun, bukan ahli di bidangnya dan pada akhirnya saya sendiri yang harus bertanggung jawab atas semua pernyataan itu. Tapi lagi-lagi memang anaklah yang salah. Mungkin beliau lebih senang dengan kantornya yang setaip pagi menyapanya dengan segelas teh tarik, sofa empuk, bangku besar ala bos, kamar mandi privat yang tersedia air hangat dan handuk, fasilitas TV kabel, akses internet tanpa batas, pulsa telefon unlimited. Mungkin beliau lebih senang dengan kolega yang selalu menyapanya dengan senyum, selalu menuruti perintahnya, bisa diajak bercanda, mengerti pengelolaan perusahaan, mengerti kebutuhan BOS nya, lebih bisa menghamburkan uang untuk alasan sedekah, sarana ibadah, beramal kepada teman. Atau mungkin juga beliau lebih bangga memiliki anak yang sama seperti relasinya yang merupakan anak bupati yang hartawan, anak anggota dewan yang punya bisnis besar, anak kyai yang taat agama, sedangkan saya belum ada apa-apanya. Mungkin baginya saat ini adalah bahwa anak merupakan ujian dalam hidupnya. Sehingga ketika kembali ke rumah yang ada hanya rasa kesal. Dan rumah hanyalah sebagai sarana untuk istirahat malam untuk melanjutkan kehidupan keesokan hari di dunianya.

Lalu apakah itusalah? TIDAK. Tidak pernah ada kata bahwaa orangtua salah, anaklah yang jadi penyebabnya karena terlahir di dunia. Saya akui disini saya yang salah, dianggap salah, ngeyel dan buat banyak kekecewaan, tetapi insyaallah saya tidak pernah meninggikan ucapan saya terhadap orang tua, saya tidak pernah membentak, marah, mata melotot, menggurui orang tua, dan saya tidak pernah membanting pintu ataupun melempar benda untuk mengungkapkan kekesalan. Atau mungkin juga tubuh saya ini sudah dipenuhi dengan syaithan, tetapi insyaallah saya tidak pernah bergaul dengan kawan-kawan yang merokok, minuman keras, berpesta larut malam, tidak sembahyang. Saya juga selalu berusaha untuk tidak bercampur aduk bebas dengan lawan jenis, cekikikan, pegang-pegangan, bermesraan. Atau mungkin ada orang lain yang benci bahkan iri dengan keluarga kami (ah saya tidak mau suudzon tentang itu, toh keluarga kan kita yang bentuk sendiri). Biar bagaimanapun mungkin akan mudah bagi orangtua untuk memiliki anak yang baru, memilih anak yang sesuai harapan, memilih anak yang bisa selalu menjawab YA. Akan tetapi anak tidak bisa memilih orang lain sebagai orangtua kandung. Padahal disisi lain seorang anak butuh bimbingan, butuh pantauan ketika sedang belajar bagaimana caranya naik sepeda, butuh pelukan ketika terjatuh dari sepeda roda tiganya,  butuh usapan ketika permennya diambil oleh temannya, butuh tempat bersembunyi ketika kawannya menjahilinya, butuh seorang teman, butuh partner dalam kehidupan, butuh sharing bagaimana menjalani kehidupan, butuh cerita mengenai sekolah dasar, butuh pengalaman memasuki dunia kuliah dan dunia kerja, butuh brain storming, tukar pikiran, dan banyak lagi…yah tapi anak memanglah hanya anak,yang hanya tahu aturan bahwa orangtualah yang selalu benar, tapi anak tidaklah sama dengan anak buah yang bisa diperintah semaunya dan dipecat jika salah aturan, anakpun tak pernah berharap mempunyai kesalahan dan dicap salah, anakpun tak pernah menuntut terlahir dari keluarga presiden, tak pernah berharap ayahnya pewaris tahta kerajaan,yang anak butuhkan hanyalah selembar kain hangat dan menangis sekencang-kencangnya saat dilahirkan ke dunia namun anak itupun tak bisa melihat apakah orangtuanya menangis bahagia atas kelahirannya. Dan melalui tulisan inilah rasa itu saya ungkapkan, tanpa harus saya bersuara, tanpa saya harus berkata TIDAK tanpa harus berkata YA, dan dari tulisan ini saya mampu berkata dalam diam. J


Nb: tak lama berselang saya pun menuliskan pesan singkat yang rencananya akan saya kirim kepada ayah saya, namun sampai saat ini tak pernah terkirim dan masih saya simpan di draft, saya kahawatir justru sms ini malah membuatnya tambah murka. :(





No comments:

Post a Comment